Jumat, 31 Agustus 2012

Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal


Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan kesenjangan. RPJM Nasional telah menetapkan 199 kabupaten yang dikatagorikan sebagai Daerah Tertinggal, dimana 62% (123 kab) ada di KTI, 29 % (58 kab) di Sumatera, dan 9 % (18 kab) ada di Jawa dan Bali.
Daerah Tertinggal dimaknai sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional yang penentuannya menggunakan enam kriteria dasar, yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik khusus daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan negara).

RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2008 menjadikan pembangunan daerah tertinggal sebagai mainstream (arus utama) dari delapan prioritas pembangunan yang harus dilakukan oleh kementerian/lembaga. Komitmen ini merupakan peneguhan komitmen RKP 2007 yang telah menjadikan isu daerah tertinggal sebagai salah satu prioritas. Bagaimana dengan RKP 2009 yang saat ini mulai disusun Bappenas ? Seyogyanya komitmen terhadap daerah tertinggal harus terus ada, bahkan harus diperkuat, karena persoalan disparitas ini dalam era pemerintahan SBY-JK tampaknya semakin memburuk. Lihat saja, bencana alam yang merata terjadi di hampir seluruh wilayah nusantara telah meluluh lantahkan infrastruktur. Angka Kemiskinan terus meningkat, penyakit menular silih berganti (dari flu burung, demam berdarah, dll). Antrian panjang masyarakat saat membeli minyak tanah, saat meminta jatah zakat fitrah atau hewan kurban, telah mempertontonkan kepada kita bahwa kemiskinan sungguh sangat nyata.
Kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) seharusnya mampu mewujudkan secara konkrit semua komitmen pemerintah terhadap daerah tertinggal melalui proses penetapan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, dan instrumen pembangunan daerah tertinggal sesuai mandat yang diberikan oleh Presiden (lihat Perpres No. 9/2005 dan Perpres No. 90/2006). Berbagai upaya memang telah dilakukan KPDT sesuai tupoksinya. Beberapa hasilnyapun telah dipublikasikan.
Dari hasil evaluasi paruh waktu (midterm review) yang dipublikasikan KPDT pada awal Januari 2008 diketahui bahwa secara makro telah ada keberpihakan Pemerintah terhadap daerah tertinggal. DAK (Dana Alokasi Khusus) kepada daerah tertinggal (dari tahun 2003 ke tahun 2007) mengalami pertumbuhan 115,8 % sementara DAK kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 82,8 %, dan DAK rata-rata nasional pertumbuhannya 98,6 %. Begitu pula dengan DAU (Dana Alokasi Umum) dan Dana Bagi Hasil (DBH). DAU kepada daerah tertinggal mengalami pertumbuhan 41,2 % sementara DAU kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 24,0 %, dan DAU rata-rata nasional pertumbuhannya 31,9 %. Sementara DBH kepada daerah tertinggal mengalami pertumbuhan 83,1 % sementara DBH kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 53,7 %, dan DBH rata-rata nasional pertumbuhannya 67,5 %.
Gambaran dari sisi alokasi pendanaan ini dapat menjadi bukti bahwa Pemerintah telah merealisasikan komitmennya kepada daerah tertinggal. Keberpihakan ini telah menuai hasil positip walaupun kurang mendapatkan publikasi yang memadai. Menteri Negara PDT (Ir. Muhamad Lukman Edy) menginformasikan bahwa setelah 3 tahun bekerja, pada tahun 2007 ada 28 kabupaten yang dapat keluar sebagai daerah tertinggal.
Namun demikian tampaknya semua langkah diatas belum cukup membantu untuk menyelesaikan seluruh kriteria ketertinggalan yang dimiliki oleh 199 kabupaten tertinggal. Skema pendanaan yang ada (baca: DAK sektoral) belum menjawab secara spesifik kebutuhan pengentasan ketertinggalan suatu daerah. Kondisi infrastruktur daerah tertinggal, misalnya, belum banyak berubah dengan adanya DAK-DAK sektoral tersebut.
Ketika usulan Kementerian Negara PDT dan Bappenas untuk adanya DAK kewilayah (bagi daerah tertinggal) ditolak oleh Departemen Keuangan (baca: ketertinggalan hanya masuk sekedar kriteria penetapan DAK sektoral), maka harus segera dirumuskan bagaimana mengoptimalkan DAK-DAK sektoral ini agar dapat menjawab kebutuhan wilayah/daerah tertinggal. Kalau tidak, maka dana yang mengalir deras ke daerah tertinggal tidak dapat serta merta menyelasaikan masalah ketertinggalan.
Dalam Stranas PPDT, Kementerian PDT telah mengarahkan kementerian/lembaga dan daerah dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal untuk fokus pada lima program prioritas yaitu: Pengembangan Ekonomi Lokal, Pemberdayaan Masyarakat, Peningkatan Kapasitas Kelembagaaan, Pengurangan Keterisolasian Daerah, dan Penanganan Karakteristik Khusus Daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan Negara). Dokumen ini sebetulnya relatif sudah tersosialisasi, dengan harapan dapat menjadi rujukan didalam penyusunan Rencana Aksi Sektor (RAS) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Dengan belum efektifnya DAK-DAK sektoral didalam penyelesaian ketertinggalan suatu daerah mengindikasikan belum terkoordinasinya prioritas sektor dengan prioritas percepatan pembangunan daerah tertinggal. Sehubungan dengan itu, keberadaan kesatuan dokumen perencanaan didalam percepatan pembangunan daerah tertinggal tampaknya menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Terlebih masa bhakti SBY-JK tinggal dua tahun lagi.
Dalam dua tahun sisa masa bhakti,  Kabinet SBY-JK perlu bekerja lebih keras. Kalau menggunakan ukuran kinerja 3 tahun sebelumnya, yang hanya mampu mengentaskan 28 kabupaten pada tahun 2007 (rata-rata 9 daerah tertinggal per tahun), maka kalau tidak ada upaya percepatan, mungkin pada tahun 2009 daerah tertinggal yang akan terentaskan hanya 46. Itu berarti 153 daerah lainnya akan tetap tertinggal.


Selain banyak harapan digantungkan dengan kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), ada pula yang skeptis. Terkandung harapan, karena di Indonesia terdapat amat banyak daerah "tertinggal", data dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 32.379 (45,86%) Desa Tertinggal yang terdiri dari 29.634 (41,97%) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal. Sementara keraguan justru muncul pada efektivitas Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) karena masih belum begitu jelas fungsi dan perannya.
Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Dalam hal teknis, pembangunan di daerah-daerah "tertinggal" merupakan tanggung jawab dari kementerian (departemen) teknis. Sedangkan dalam era otonomi, implementasi pembangunannya akan merupakan kewenangan dari pemerintah kota dan kabupaten sehingga menurut Lukman Edy, 2008 menjadi suatu keharusan bahwa fokus sekaligus lokus pembangunan daerah tertinggal tentunya membutuhkan sinergi antara semua stake holder, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat sendiri.
Kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) perlu ditindaklanjuti dengan pengisian fungsinya secara efektif, dalam kaitan dengan pembagian tugas pemerintahan yang diselaraskan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Pertanyaannya adalah, “Apa yang harus diperankan oleh Kementerian Negara Pembanguan Daerah Tertinggal (KPDT) dan Pemerintah Daerah dalam upaya mempercepat pembangunan daerah tertinggal?”.

Kelembagaan
Pengertian daerah tertinggal sebenarnya multi-interpretatif dan amat luas. Meski demikian, ciri umumnya antara lain, tingkat kemiskinan tinggi, kegiatan ekonomi amat terbatas dan terfokus pada sumber daya alam, minimnya sarana dan prasarana, dan kualitas SDM rendah. Daerah tertinggal secara fisik kadang lokasinya amat terisolasi. Pada masa Orde Baru pembangunan daerah tertinggal dilakukan melalui berbagai cara yang sifatnya top-down, misalnya melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) serta proyek-proyek departemen teknis melalui mekanisme Daftar Isian Proyek (DIP).
Satu hal yang perlu disadari, pembangunan daerah tertinggal amat membutuhkan pendekatan perwilayahan (regional development approach) yang bersifat lintas pelaku maupun sektor. Regional development (pengembangan wilayah), termasuk pembangunan daerah tertinggal, tidak mungkin dilaksanakan oleh satu departemen teknis sektoral atau pemerintah daerah saja.
Suatu ruang yang amat terbuka bagi kontribusi, peran, dan efektivitas kerja kelembagaan yang terkait guna percepatan pembangunan daerah tertinggal. Memang bukan sesuatu yang mudah untuk “menyinergikan” dan "mengkoordinasikan" para pelaku yang antara lain meliputi departemen teknis termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dunia  usaha, pemerintah daerah, masyarakat terkait, hingga lembaga donor serta perguruan tinggi setempat.
Demikian pula Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tidak akan mampu melaksanakan hal itu secara sendiri. Karena, unsur-unsur pelaksananya ada di tempat lain. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah daerah dapat memerankan dirinya secara tepat pada kondisi lintas sektoral dan lintas pelaku.

Peran Pemerintah Daerah
Sejak diberlakukan penerapan UU No 22 tahun 1999 telah terjadi pergeseran model pemerintahan daerah dari yang semula menganut model efisiensi struktural ke arah model demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara bangsa. Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam organisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum, artinya dianutnya desentraliasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi. Partisipasi dan kemandirian di sini adalah berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Bambang Supriyono, 2005).
Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
Peranan pemerintah daerah sangat penting dalam kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Peranan yang diberikan selain dalam bentuk sarana dan prasarana baik itu yang berupa sarana fisik maupun subsidi langsung, yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah juga harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereka dapat merencanakan, membangun, dan mengelola sendiri prasarana dan sarana untuk mendukung upaya percepatan pembangunan di daerah tertinggal serta melaksanakan secara mandiri kegiatan pendukung lainnya.
Dalam upaya mengoptimalkan perannya, pemerintah daerah juga perlu mendorong partisipasi pihak lain yang berkompeten dalam upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal, seperti pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Daerah juga perlu mendorong terjadinya koordinasi dan kerjasama antar wilayah yang melibatkan dua atau lebih wilayah yang berbeda. Penting juga diperhatikan adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan data dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat serta berperan sebagai mitra konsultasi dalam proses percepatan pembangunan daerah tertinggal.


Agenda Jangka Pendek
Pemfungsian peranan pemerintah daerah, seperti dikemukakan di atas, jelas bersifat jangka panjang dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Pertanyaannya kini, apa yang dapat dilakukan dalam waktu jangka pendek, misalnya dalam satu sampai dua tahun ke depan?.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap awal, sebagai usaha menuju efektivitas fungsi dan peran pemerintah darah dalam segi kelembagaan pembangunan daerah tertinggal.
Pertama, pemetaan dan tipologi "daerah masing-masing" berdasar kriteria yang relevan dengan Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Pemetaan tipologi ini akan merupakan basis data kerja baik bagi pemerintah daerah sendiri maupun bagi lembaga-lembaga yang terkait. Hal ini tidak perlu dimulai dari nihil, namun dapat memanfaatkan data dan informasi yang telah ada, seperti yang telah dikumpulkan Biro Pusat Statistik dalam beberapa tahun, tentu setelah dilakukan evaluasi sesuai dengan kondisi terakhir daerah.
Kedua, perlu dirumuskan konsep (model) umum pengembangan daerah secara bervariasi sesuai karakteristik geografis, budaya, dan sosial-ekonomi daerah. Konsep itu pada dasarnya harus merupakan pembangunan lokal (local development) yang amat menghargai dan memberi tempat bagi inisiatif-inisiatif lokal, dan harus dapat menjelaskan apa peran dan fungsi pelaku (stakeholders). Pada giliran penerapan, konsep ini akan mengalami modifikasi lebih spesifik sesuai kondisi masing-masing daerah. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa cara pembangunan model proyek pemerintah pusat yang bersifat top-down, seperti dilakukan pada masa Orde Baru, tidak akan membawa hasil efektif.
Ketiga, mulai segera melakukan koordinasi dan lobi dengan pelaku potensial percepatan pembangunan daerah tertinggal, termasuk departemen sektoral, dunia usaha, dan lembaga donor dengan mensosialisasikan konsep (gagasan) pembangunan daerah, terutama dari segi kelembagaan seperti dijelaskan butir dua. Forum-forum komunikasi mungkin dapat merupakan cara yang efektif untuk tujuan ini.
Keempat, mengupayakan program percontohan penerapan konsep (gagasan) yang dikemukakan pada butir dua terhadap daerah yang dipandang strategis dan tepat sebagai suatu contoh. Meski hal ini tidak selalu merupakan jaminan suksesnya suatu replika, kasus yang berhasil (best practice) dapat merupakan contoh untuk diterapkan dan dipelajari bagi daerah lainnya. Lebih dari itu contoh seperti ini dapat merupakan wujud "keberhasilan" nyata gagasan (konsep) yang ditawarkan, dan dapat menumbuhkan "kepercayaan" (trust) bagi pihak terkait dan berkepentingan (stakeholders) di daerah tertinggal.
http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif



 BAB 1
PENDAHULUAN

Definisi Daerah Tertinggal
Ketertinggalan (underdevelopment) bukan merupakan sebuah kondisi dimana tidak terdapat perkembangan (absence of development), karena pada hakikatnya, setiap manusia atau kelompok manusia akan melakukan sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya walaupun itu hanya sedikit. Ketertinggalan merupakan sebuah kondisi suatu wilayah dengan wilayah lainnya atau apabila kita membandingkan tingkat perkembangan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kondisi ini muncul karena perkembangan sosial manusia yang tidak sama dan bila dilihat dari sudut pandang ekonomi, sekelompok orang telah lebih maju dibandingkan kelompok orang lainnya (Rodney, 1973).
Selanjutnya tentang ketertinggalan ini adalah biasanya digambarkan dengan terdapatnya eksploitasi, misalnya eksploitasi suatu negara oleh negara lainnya. Negara-negara tertinggal (underdeveloped) di dunia biasanya dieksploitasi oleh Eropa. Dan ketertinggalan di negara-negara tersebut merupakan hasil dari kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme yang terjadi di masa lalu. Eksploitasi tersebut menghi]angkan keuntungan sumber daya yang terdapat di lokasi negara-negara tertinggal, baik itu sumber daya alam, maupun sumber daya manusia.
Berhubungan dengan pengertian eksploitasi di atas, ketertinggalan biasanya juga berkaitan dengan ketergantung-an. Ketergantungan terhadap negara atau daerah lain menyebabkan suatu daerah atau negara tidak dapat disebut mengalami pembangunan yang balk.
Untuk membandingkan perkembangan suatu negara dengan negara lainnya atau wilayah dengan wilayah lainnya, dapat digunakan beberapa indikator. Indikator indikator tersebut antara lain adalah indikator ekonomi, yang ditandai dengan pendapatan perkapita penduduknya. Indikator selanjutnya adalah jumlah produksi dan konsumsi barang, jumlah dan kualitas pelayanan sosial yang dapat dilihat pula dari kondisi sosial penduduk di dalamnya, seperti, jumlah kematian bayi, jumlah buta huruf, dan sebagainya. Selain indikator-indikator yang sifatnya kuantitatif seperti di atas, yang perlu diperhatikan juga adalah aspek kualitatifnya.
Pada umumnya di daerah tertinggal, tidak terdapat sektor ekonomi yang bisa membawa pertumbuhan secara besar, atau yang memiliki multiplier effect yang tinggi yang dapat memacu pertumbuhan. Jadi pemerintah tidak cukup hanya dengan menyediakan barang dan jasa sebanyak-banyaknya saja, tapi juga harus yang dapat memberikan stimulan untuk meningkatkan perekonomian daerah tersebut.
Menurut R Bandyopahyay dan S. Datta (1989), daerah tertinggal secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut (1) biasanya berada di kawasan perdesaan, dengan memiliki keterbatasan fungsi dan fasilitas yang dimiliki kawasan perkotaan, serta produktifitas hasil pertanian yang sangat rendah; (2) rendahnya sumber daya yang dimiliki (SDM dan sumber daya alam); (3) memiliki struktur pasar yang kecil dan tidak efektif; (4) rendahnya standar hidup; dan (5) sangat jauh dari pusat pembangunan wilayah/negara. Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di India tentang pembangunan daerah tertinggal, dikatakan bahwa daerah tertinggal (the backward hill areas) merupakan daerah yang tidak homogenous dan bervariasi dalam sumber daya, curah hujan, topografi dan kondisi sumber daya alamnya namun memiliki keterbatasan, sehingga diperlukan pendekatan yang berbeda dalam pengembangan daerah untuk setiap daerahnya. Yang dimaksud dengan keterbatasan adalah keterbatasan ekonomi, infrastruktur dan sumber daya manusianya. Biasanya kondisi keterbatasan tersebut terlihat dari inaccesbility yang dimiliki oleh daerah tersebut, seperti terbatasnya fasilitas-fasilitas umum (fasilitas jalan, fasilitas komunikasi, dan kecilnya keterbatasan tanah yang dimiliki oleh petani). Oleh karena itu, setiap daerah tersebut dikembangkan atau dibangun dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki setiap daerah tersebut.








BAB II
A.   Indikator Daerah Tertinggal di Indonesia

            Penentuan kriteria daerah tertinggal pada prinsipnya berorientasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada pada daerah tersebut. Hal ini merupakan indikasi dari outcome dan impact suatu proses pembangunan. Namun demikian, dalam praktiknya penentuan kriteria daerah tertinggal di Indonesia sangat dibatasi oleh ketersediaan data sekunder yang ada. Saat ini data yang digunakan adalah data Potensi Desa (PODES), data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan data Keuangan Daerah.
Oleh karena itu, dalam menentukan ‘kriteria utama’, digunakan indikator ketertinggalan masyarakat baik ekonomi maupun sosial. Kriteria ketertinggalan dalam bidang ekonomi diindikasikan dari persentase penduduk miskin dan kedalaman kemiskinan pada daerah tersebut. Sedangkan kriteria ketertinggalan dalam bidang sosial diindikasikan dari kondisi kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.
Gambaran tersebut tentunya belum menunjukkan penyebab ketertinggalan dari suatu daerah, sehingga diperlukan indikator lain yang menggambarkan kondisi fisik penyebab ketertinggalan yakni kondisi infrastruktur seperti jalan, penggunaan listrik, telepon, perbankan, maupun pasar. Kurangnya infrastruktur yang merupakan faktor input ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap output, sehingga faktor ini dapat dikatakan sebagai kriteria dasar suatu ketertinggalan.
Kriteria lain adalah proses pembangunan itu sendiri yang digambarkan dari jumlah dana yang dapat digunakan untuk pembangunan, efisiensi pengunaannya, serta faktor-faktor lain yang dapat menghambat proses pembangunan seperti seringnya terjadi bencana alam atau konflik sosial. indikasi proses pembangunan ini sangat sulit digambarkan dari data sekunder yang tersedia karena banyak yang bersifat kualitatif. Namun demikian, indikator yang dapat menggambarkan proses tersebut tetap diperlukan, dan data yang ada berupa kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas pelayanan pemerintahan serta karakteristik daerah yang dapat menggambarkan hambatan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, penetapan kriteria daerah tertinggal selanjutnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar dalam Kepmen PDT No 1 tahun 2005, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Berdasarkan itu, maka ditetapkan 190 kabupaten yang dikategorikan sebagai kabupaten tertinggal baik dengan kategori tertinggal parah, sangat tertinggal, maupun agak tertinggal. Namun disadari bahwa data BPS yang digunakan belum menggambarkan kondisi mutakhir kabupaten yang ada, mengingat sepanjang 2002-2004 terdapat banyak perubahan yang terjadi terutama kegiatan pemekaran daerah. Untuk memastikan ketertinggal-an ini, maka Kementerian PDT melakukan kegiatan validasi dan verifikasi selama satu bulan. Kegiatan validasi ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada kabupaten yang telah ditetapkan, untuk menyatakan kebenaran ketertinggalan tersebut. Hasil validasi tersebut telah menetapkan sebanyak 199 kabupaten tertinggal yang tersebar pada KTI sebanyak 123 kabupaten atau sekitar 62 persen, Sumatra sebanyak 58 kabupaten atau sekitar 29 persen. Sisanya di Jawa dan Bali sebanyak 18 kabupaten atau 9 persen.




B.  Konsep Daerah Tertinggal di Indonesia

            Menurut Firman (2004) pengertian daerah tertinggal sebenarnya multi interpretatif dan amat luas. Meski demikian, ciri umumnya antara lain, tingkat kemiskinan tinggi, kegiatan ekonomi amat terbatas dan terfokus pada sumber daya alam, minimnya sarana dan prasarana, dan kualitas SDM rendah. Daerah tertinggal secara fisik kadang lokasinya amat terisolasi.
Menurut Kepmen PDT nomor 1 tahun 2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, daerah tertinggal didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Sesuai dengan pengertian tersebut maka penetapan daerah tertinggal merupakan hal sangat relatif karena merupakan hasil perbandingan dengan daerah lainnya. Untuk itu dalam penetapan daerah tertinggal digunakanlah data agregat pada tingkat kabupaten.


Indikator Daerah Tertinggal di Negara Maju, Negara Berkembang dan Negara Miskin
Indikator daerah tertinggal di negara maju biasanya dapat diturunkan dari karakteristik suatu daerah tertinggal yang terbagi dalam beberapa aspek daerah tertinggal. Untuk keperluan ini akan disajikan karakteristik dan aspek daerah tertinggal yang digunakan di negara-negara di Eropa. Secara umum, karakteristik daerah tertinggal di negara-negara di benua Eropa dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut: 
    Ekonomi, pada umumnya daerah tertinggal di Eropa ditandai dengan tingkat pendapatan perkapita penduduknya yang di bawah rata-rata negara. Hal ini juga disebabkan oleh kegiatan perekonomian utama di daerah tertinggal di Eropa yang berupa pertanian terutama kegiatan pertanian yang bersifat non-komersial sehingga menyebabkan ketertinggalan tersebut.
    Sosial Kependudukan, terkait dengan kegiatan perekonomian penduduknya, salah satu penyebab ketertinggalan daerah di Eropa adalah karakteristik penduduknya yang enggan untuk berwirausaha (Enterpreneurship). Kegiatan wirausaha yang diharapkan dapat menjadi roda penggerak perekonomian sulit ditemukan di daerah tertinggal di Eropa. Di daerah tersebut tidak ditemukan kegiatan yang dapat menimbulkan multiplier effect bagi kegiatan lainnya. Tingginya tingkat pengangguran juga merupakan karakteristik daerah tertinggal di negara Eropa. Infrastruktur, pada umumya infrastruktur di daerah tertinggal di negara di Eropa juga menunjukkan kondisi yang tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Infrastruktur yang menjadi penghambat utama adalah pada akses pemasaran hasil produksi daerah tersebut.

Indikator daerah tertinggal di negara berkembang akan diturunkan karakteristik dan aspek daerah tertinggal yang digunakan di beberapa negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika. Secara umum, karakteristik daerah tertinggal di negara-negara berkembang seperti di kawasan Asia Selatan dan Afrika dapat dilihat dalam beberapa aspek sebagai berikut:
    Ekonomi, sama halnya dengan karakteristik di Eropa, tingkat pendapatan perkapita penduduk di daerah tertinggal di negara berkembang menunjukkan tingkat di bawah rata-rata nasional. Kegiatan utama penduduknya terutama adalah pertanian dan sebagian besar merupakan pertanian subsisten sehingga tidak dapat menimbulkan multipler effect di daerah tersebut.
    Sosial kependudukan, penduduk di daerah tertinggal di negara berkembang pada umumnya berada dalam kondisi yang buruk. Tingginya tingkat buta huruf, kematian bayi dan wabah penyakit merupakan beberapa hal yang masih ditemukan dan merupakan salah satu kerentanan sosial di daerah tertinggal di negara berkembang. Pengangguran dan tingginya tingkat ketergantungan di daerah tertinggal juga merupakan karakteristik sosial kependudukan di daerah tertinggal. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini terkait dengan besarnya push factor di daerah tertinggal, sehingga banyak penduduk golongan usia produktif yang meninggalkan daerahnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dependency ratio dan sex ratio dapat digunakan sebagai indikator ketertinggalan suatu daerah.
   Infrastruktur, pada umumnya infrastruktur dan pelayanan dasar pendukung kehidupan manusia masih dalam kondisi buruk dalam segi kualitas dan kuantitas. Pelayanan seperti sanitasi, air bersih, dan tenaga listrik masih dalam kondisi yang sangat buruk. Selain itu keadaan fasilitas sosial seperti pendidikan dan kesehatan baik secara kualitas maupun kuantitas yang masih buruk merupakan salah satu penyebab ketertinggalan daerah di negara berkembang.
    Fisik Iingkungan, pada umumnya daerah tertinggal di negara berkembang berlokasi di daerah terpencil, daerah perbatasan negara atau di daerah rawan bencana. Kondisi lahan yang kurang produktif untuk pertanian yang masih sangat tergantung dengan kondisi alam juga menjadi faktor penyebab ketertinggalan daerah. Hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa daerah yang tertinggal tidak selalu tertinggal dalam potensi sumber daya alamnya. Banyak daerah tertinggal yang kaya akan potensi sumber daya alam akan tetapi menjadi daerah tertinggal disebabkan karena terjadinya eksploitasi.

Penggunaan pendekatan model alokasi sumberdaya ekonomi (traditionals resources-allocation models of economy) akan menuntun supaya mempertimbangkan keuntungan ekonomi yang direfleksikan oleh mekanisme pasar, sedangkan apabila menggunakan pendekatan yang lebih luas akan membuat kita tidak dapat mengevaluasi alokasi sumberdaya, baik sumberdaya ekonomi maupun social standpoint. Beberapa aspek dapat digunakan sebagai batasan dalam pendekatan ini. Seperti social benefit and cost dengan berbagai alternatif yang dielaborasi ke dalam suatu framework yang terintegrasi dalam model, dengan meliputi variabel sosial, kultur, ekonomi dan politik. Solusi yang ada dari model ini seharusnya direspon kepada spesifik socio-cultural environment daerah tersebut, dan harus memperhatikan ketersediaan dari raw material dan skill, serta karakteristik dari daerah tertinggal tersebut. Dengan demikian kondisi ekonomi hasus memasukan faktor-faktor fisik yang dimiliki seperti sumber daya dan raw material yang tersedia.

C.   Konsep Daerah Tertinggal di Negara Sedang Berkembang

Untuk mengetahui pengertian akan ketertinggalan di Indonesia dengan tepat, akan lebih baik jika kita mengetahui pengertian ketertinggalan di negara-negara dunia ketiga, yang memiliki kondisi pembangunan yang kurang lebih mirip dengan kondisi di Indonesia.
Untuk memahami ketertinggalan di negara berkembang, hal utama yang harus diperhatikan adalah konsep kemiskinan. Dalam studi yang dilakukan di Asia Selatan (India, Pakistan, dan lain-lain), kemiskinan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kemiskinan yang sementara, dan kemiskinan yang permanen. Daerah atau wilayah yang lebih tepat didefinisikan memiliki kondisi ketertinggalan adalah daerah atau wilayah yang memiliki kondisi kemiskinan yang permanen. Kesalahan dalam mendefinisikan jenis kemiskinan dalam suatu kelompok masyarakat dapat menimbulkan suatu masalah baru, dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan akan menjadi tidak tepat.
Kemiskinan di desa-desa (rural) di negara-negara di Asia selatan dikarakteristikkan oleh aspek-aspek ekonomi, demografi dan sosial, yang terutama adalah kurangnya lahan produktif atau sulitnya mendapatkan akses menuju lahan yang produktif. Rumah tangga miskin biasanya memiliki jumlah anggota keluarga yang besar dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, tingkat pendidikan yang rendah, dan terhadap fasilitas dasar seperti sanitasi, air bersih, dan listrik. Karakteristik kemiskinan permanen sendiri biasanya dilihat pada rendahnya pelayanan infrastruktur, keterbelakangan sosial, kurangnya akses kepada pendidikan, kecacatan dan faktor usia, wabah penyakit yang berkelanjutan dan sebagainya (IFAD 2002). Pendekatan yang biasanya dipakai untuk menentukan kemiskinan permanen ini adalah pendapatan perkapita yang dilihat dari waktu ke waktu, sehingga dapat diketahui kelompok keluarga yang “selalu miskin”, “terkadang miskin”, atau “tidak pernah miskin”.
Faktor kedua yang harus diperhatikan dalam melihat ketertinggalan di suatu daerah di Asia Selatan adalah kerentanan (vulnerability). Kerentanan ini menjadi penting karena dengan adanya kerentanan berpotensi memunculkan daerah yang akan menjadi daerah miskin permanen. Kerentanan ini dapat berupa wabah penyakit yang berkepanjangan, ataupun kerentanan kondisi fisik lingkungannya. Indentifikasi terhadap kerentanan in menjadi sulit dilakukan karena berbagai faktor yang menjadi penyebabnya. Akan tetapi penting untuk diperhatikan dalam menentukan ketertinggalan suatu daerah.
Salah satu wilayah miskin di India adalah distrik Vidharba. Distrik ini mengalami keterbelakangan karena kurangnya tenaga kerja di luar pertanian, terutama pertanian yang tergantung dengan pengairan yang alami. Tingkat ketergantungan yang tinggi (dependency ratio) dan kurangnya lapangan kerja di luar pertanian juga menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan. Faktor lain yang menjadi penyebab munculnya kemiskinan juga adalah kurang baiknya kondisi lahan dan tidak beragamnya jenis pertanian.
Selain itu studi yang dilakukan di India, diketahui bahwa strategi yang digunakan untuk pembangunan daerah tertinggal seharusnya memperhatikan berbagai hal sebagai berikut (1) pembangunan harus berbasis sumber daya lokal dan memaksimalkan penggunaan SDM lokal. (2) melakukan transformasi ekonomi yang berorientasi pada konsumsi menjadi ekonomi yang berorientasi kepada investasi. (3) memberikan regulasi tentang perjanjian perdagangan inter-regional, dalam hal mengurangi eksploitasi sumber daya di daerah  tertinggal. (4) memelihara keseimbangan ekologikal, dan (5) pemerintah pusat mengisi kesenjangan/gap yang terjadi akibat mekanisme pasar untuk memberikan daya saing kepada daerah tertinggal.  
Secara umum, ketertinggalan di negara berkembang selalu berkaitan dengan daerah perdesaan dimana sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani (agricultural), dan tidak memiliki akses untuk lapangan pekerjaan yang lain. Selain itu kondisi fisik lingkungan yang kurang baik, ketersediaan lahan yang tidak produktif juga menjadi penyebab kondisi ketertinggalan suatu daerah di negara berkembang, karena lahan adalah komponen utama pertanian, sehingga kerentanan kondisi alam dapat menjadi penyebab ketertinggalan dan kemiskinan satu daerah. Infrastruktur dan pelayanan dasar manusia seperti air bersih, sanitasi, dan energi listrik juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya ketertinggalan di negara berkembang. Hal-hal demikian menyebabkan daya dorong untuk keluar dari desa tertinggal menjadi tinggi sehingga fenomena yang banyak ditemukan di daerah­daerah tertinggal di negara berkembang adalah fenomena tingkat ketergantungan yang tinggi (dependency ratio).
Struktur demografi penduduk yang dominan muncul di daerah tertinggal adalah penduduk dengan usia lanjut. Rendahnya tingkat pendidikan dan kerawanan terhadap penyakit merupakan faktor kerentanan utama yang dapat menyebabkan munculnya kemiskinan permanen di desa-desa, di negara berkembang.
Eksploitasi negara-negara di Afrika juga menjadi salah satu dari penyebab munculnya ketertinggalan pembangunan. Seringkali negara berkembang, kekayaan sumber daya alam yang tinggi, namun eksploitasi oleh negara maju menyebabkan kekayaan daerah tersebut tidak menjadi pemasukan bagi daerahnya yang dapat mengembangkan daerah tersebut.Di negara-negara Afrika juga menunjukkan peningkatan wilayah perdesaan dan disparitas. Di Nigeria peningkatan disparitas sangat cepat dibandingkan dengan negara Tanszania. Namun pertumbuhan di negara Tanzania lebih kecil apabila dibandingkan dengan negara Nigeria.
Strategi yang biasa digunakan di berbagai negara berkembang untuk pembangunan daerah tertinggal secara makro biasanya menggunakan pendekatan­pendekatan teori sebagai berikut teori balanced growth, teori growth pole/growth centre, import subtitutions industrialization, exported growth dan nucleus industries. Inti dari hipotesis pendekatan strategi ini adalah pembangunan yang memiliki “trickled down” kepada level paling bawah dengan memberikan stimulan terhadap faktor pengungkit tertinggi dalam pembangunan.
Di negara Amerika Latin, ketertinggalan ditunjukkan dengan adanya disparitas wilayah dan interpersonal yang sangat besar antara daerah tertinggal dan tidak tertinggal, terutama di daerah tertinggal di timur laut negara Brazil. Walaupun demikian, negara-negara Amerika Latin memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun.
Untuk di negara-negara Asia memperlihatkan adanya peningkatan disparitas dan terjadinya peningkatan kemiskinan dari tahun ke tahun, terutama penduduk diperdesaan (kemiskinan relatif maupun absolut). Di beberapa negara Asia, walaupun memiliki pertumbuhan yang tinggi, namun peningkatan dalam industrialisasi tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup dalam penyerapan tenaga kerja. Hanya China yang dalam program pembangunan industrialisasi perdesaan yang sukses dalam membuat lapangan pekerjaan dalam jumlah besar pada populasi penduduk perdesaan di daerah tertinggal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar