Indonesia
saat ini masih menghadapi persoalan kesenjangan. RPJM Nasional telah menetapkan
199 kabupaten yang dikatagorikan sebagai Daerah Tertinggal, dimana 62% (123
kab) ada di KTI, 29 % (58 kab) di Sumatera, dan 9 % (18 kab) ada di Jawa dan
Bali.
Daerah
Tertinggal dimaknai sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional yang
penentuannya menggunakan enam kriteria dasar, yaitu: perekonomian masyarakat,
sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan daerah,
aksesibilitas, dan karakteristik khusus daerah (bencana alam, konflik, dan
perbatasan negara).
RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2008 menjadikan pembangunan daerah tertinggal
sebagai mainstream (arus utama) dari delapan prioritas pembangunan yang
harus dilakukan oleh kementerian/lembaga. Komitmen ini merupakan peneguhan
komitmen RKP 2007 yang telah menjadikan isu daerah tertinggal sebagai salah
satu prioritas. Bagaimana dengan RKP 2009 yang saat ini mulai disusun
Bappenas ? Seyogyanya komitmen terhadap daerah tertinggal harus terus ada,
bahkan harus diperkuat, karena persoalan disparitas ini dalam era pemerintahan
SBY-JK tampaknya semakin memburuk. Lihat saja, bencana alam yang merata
terjadi di hampir seluruh wilayah nusantara telah meluluh lantahkan
infrastruktur. Angka Kemiskinan terus meningkat, penyakit menular silih
berganti (dari flu burung, demam berdarah, dll). Antrian panjang
masyarakat saat membeli minyak tanah, saat meminta jatah zakat fitrah atau
hewan kurban, telah mempertontonkan kepada kita bahwa kemiskinan sungguh sangat
nyata.
Kehadiran
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) seharusnya mampu
mewujudkan secara konkrit semua komitmen pemerintah terhadap daerah tertinggal
melalui proses penetapan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, dan
instrumen pembangunan daerah tertinggal sesuai mandat yang diberikan oleh
Presiden (lihat Perpres No. 9/2005 dan Perpres No. 90/2006). Berbagai
upaya memang telah dilakukan KPDT sesuai tupoksinya. Beberapa hasilnyapun
telah dipublikasikan.
Dari
hasil evaluasi paruh waktu (midterm review) yang dipublikasikan KPDT pada awal
Januari 2008 diketahui bahwa secara makro telah ada keberpihakan Pemerintah
terhadap daerah tertinggal. DAK (Dana Alokasi Khusus) kepada daerah
tertinggal (dari tahun 2003 ke tahun 2007) mengalami pertumbuhan 115,8 %
sementara DAK kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 82,8 %, dan DAK rata-rata
nasional pertumbuhannya 98,6 %. Begitu pula dengan DAU (Dana Alokasi Umum)
dan Dana Bagi Hasil (DBH). DAU kepada daerah tertinggal mengalami pertumbuhan
41,2 % sementara DAU kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 24,0 %, dan DAU
rata-rata nasional pertumbuhannya 31,9 %. Sementara DBH kepada daerah
tertinggal mengalami pertumbuhan 83,1 % sementara DBH kepada daerah maju
pertumbuhannya hanya 53,7 %, dan DBH rata-rata nasional pertumbuhannya 67,5 %.
Gambaran
dari sisi alokasi pendanaan ini dapat menjadi bukti bahwa Pemerintah telah
merealisasikan komitmennya kepada daerah tertinggal. Keberpihakan ini telah
menuai hasil positip walaupun kurang mendapatkan publikasi yang memadai.
Menteri Negara PDT (Ir. Muhamad Lukman Edy) menginformasikan bahwa setelah
3 tahun bekerja, pada tahun 2007 ada 28 kabupaten yang dapat keluar sebagai
daerah tertinggal.
Namun
demikian tampaknya semua langkah diatas belum cukup membantu untuk
menyelesaikan seluruh kriteria ketertinggalan yang dimiliki oleh 199 kabupaten
tertinggal. Skema pendanaan yang ada (baca: DAK sektoral) belum menjawab
secara spesifik kebutuhan pengentasan ketertinggalan suatu daerah. Kondisi
infrastruktur daerah tertinggal, misalnya, belum banyak berubah dengan adanya
DAK-DAK sektoral tersebut.
Ketika
usulan Kementerian Negara PDT dan Bappenas untuk adanya DAK kewilayah (bagi
daerah tertinggal) ditolak oleh Departemen Keuangan (baca: ketertinggalan hanya
masuk sekedar kriteria penetapan DAK sektoral), maka harus segera dirumuskan
bagaimana mengoptimalkan DAK-DAK sektoral ini agar dapat menjawab kebutuhan wilayah/daerah
tertinggal. Kalau tidak, maka dana yang mengalir deras ke daerah
tertinggal tidak dapat serta merta menyelasaikan masalah ketertinggalan.
Dalam
Stranas PPDT, Kementerian PDT telah mengarahkan kementerian/lembaga dan daerah
dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal untuk fokus pada lima program
prioritas yaitu: Pengembangan Ekonomi Lokal, Pemberdayaan Masyarakat,
Peningkatan Kapasitas Kelembagaaan, Pengurangan Keterisolasian Daerah, dan
Penanganan Karakteristik Khusus Daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan
Negara). Dokumen ini sebetulnya relatif sudah tersosialisasi, dengan
harapan dapat menjadi rujukan didalam penyusunan Rencana Aksi Sektor (RAS) dan
Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Dengan
belum efektifnya DAK-DAK sektoral didalam penyelesaian ketertinggalan suatu
daerah mengindikasikan belum terkoordinasinya prioritas sektor dengan prioritas
percepatan pembangunan daerah tertinggal. Sehubungan dengan itu, keberadaan
kesatuan dokumen perencanaan didalam percepatan pembangunan daerah tertinggal
tampaknya menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Terlebih masa bhakti
SBY-JK tinggal dua tahun lagi.
Dalam
dua tahun sisa masa bhakti, Kabinet SBY-JK perlu bekerja lebih
keras. Kalau menggunakan ukuran kinerja 3 tahun sebelumnya, yang hanya
mampu mengentaskan 28 kabupaten pada tahun 2007 (rata-rata 9 daerah tertinggal
per tahun), maka kalau tidak ada upaya percepatan, mungkin pada tahun 2009
daerah tertinggal yang akan terentaskan hanya 46. Itu berarti 153 daerah
lainnya akan tetap tertinggal.
Selain banyak harapan digantungkan
dengan kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), ada
pula yang skeptis. Terkandung harapan, karena di Indonesia terdapat amat banyak
daerah "tertinggal", data dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal (KPDT) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 32.379 (45,86%) Desa
Tertinggal yang terdiri dari 29.634 (41,97%) kategori tertinggal dan 2.745
(3,89%) kategori sangat tertinggal. Sementara keraguan justru muncul pada
efektivitas Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) karena
masih belum begitu jelas fungsi dan perannya.
Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga
aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah
tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok
masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan
yang besar dari pemerintah.
Dalam hal teknis, pembangunan di daerah-daerah "tertinggal" merupakan
tanggung jawab dari kementerian (departemen) teknis. Sedangkan dalam era
otonomi, implementasi pembangunannya akan merupakan kewenangan dari pemerintah
kota dan kabupaten sehingga menurut Lukman Edy, 2008 menjadi suatu keharusan
bahwa fokus sekaligus lokus pembangunan daerah tertinggal tentunya membutuhkan
sinergi antara semua stake holder, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah,
sektor swasta dan masyarakat sendiri.
Kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) perlu
ditindaklanjuti dengan pengisian fungsinya secara efektif, dalam kaitan dengan
pembagian tugas pemerintahan yang diselaraskan dengan kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal.
Pertanyaannya adalah, “Apa yang harus diperankan oleh Kementerian Negara
Pembanguan Daerah Tertinggal (KPDT) dan Pemerintah Daerah dalam upaya
mempercepat pembangunan daerah tertinggal?”.
Kelembagaan
Pengertian daerah tertinggal sebenarnya multi-interpretatif dan amat luas.
Meski demikian, ciri umumnya antara lain, tingkat kemiskinan tinggi, kegiatan
ekonomi amat terbatas dan terfokus pada sumber daya alam, minimnya sarana dan
prasarana, dan kualitas SDM rendah. Daerah tertinggal secara fisik kadang
lokasinya amat terisolasi. Pada masa Orde Baru pembangunan daerah tertinggal
dilakukan melalui berbagai cara yang sifatnya top-down, misalnya melalui Inpres
Desa Tertinggal (IDT) serta proyek-proyek departemen teknis melalui mekanisme
Daftar Isian Proyek (DIP).
Satu hal yang perlu disadari, pembangunan daerah tertinggal amat membutuhkan
pendekatan perwilayahan (regional development approach) yang bersifat lintas
pelaku maupun sektor. Regional development (pengembangan wilayah), termasuk
pembangunan daerah tertinggal, tidak mungkin dilaksanakan oleh satu departemen
teknis sektoral atau pemerintah daerah saja.
Suatu ruang yang amat terbuka bagi kontribusi, peran, dan efektivitas kerja
kelembagaan yang terkait guna percepatan pembangunan daerah tertinggal. Memang
bukan sesuatu yang mudah untuk “menyinergikan” dan
"mengkoordinasikan" para pelaku yang antara lain meliputi departemen
teknis termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dunia usaha, pemerintah daerah, masyarakat terkait,
hingga lembaga donor serta perguruan tinggi setempat.
Demikian pula Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tidak
akan mampu melaksanakan hal itu secara sendiri. Karena, unsur-unsur
pelaksananya ada di tempat lain. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
pemerintah daerah dapat memerankan dirinya secara tepat pada kondisi lintas
sektoral dan lintas pelaku.
Peran Pemerintah Daerah
Sejak diberlakukan penerapan UU No 22 tahun 1999 telah terjadi pergeseran model
pemerintahan daerah dari yang semula menganut model efisiensi struktural ke
arah model demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi
dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan
negara bangsa. Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan
keniscayaan dalam organisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum,
artinya dianutnya desentraliasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi.
Partisipasi dan kemandirian di sini adalah berkaitan dengan kemampuan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri yang
berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Bambang Supriyono, 2005).
Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang
bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat
setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan kesejahteraan
masyarakat yang bersangkutan.
Peranan pemerintah daerah sangat penting dalam kegiatan percepatan pembangunan
daerah tertinggal. Peranan yang diberikan selain dalam bentuk sarana dan
prasarana baik itu yang berupa sarana fisik maupun subsidi langsung, yang juga
tidak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah juga harus memberikan bimbingan
teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya
mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereka dapat merencanakan,
membangun, dan mengelola sendiri prasarana dan sarana untuk mendukung upaya
percepatan pembangunan di daerah tertinggal serta melaksanakan secara mandiri
kegiatan pendukung lainnya.
Dalam upaya mengoptimalkan perannya, pemerintah daerah juga perlu mendorong
partisipasi pihak lain yang berkompeten dalam upaya percepatan pembangunan
daerah tertinggal, seperti pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Daerah
juga perlu mendorong terjadinya koordinasi dan kerjasama antar wilayah yang
melibatkan dua atau lebih wilayah yang berbeda. Penting juga diperhatikan
adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan data dan informasi yang
mudah diakses oleh masyarakat serta berperan sebagai mitra konsultasi dalam
proses percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Agenda Jangka Pendek
Pemfungsian peranan pemerintah daerah, seperti dikemukakan di atas, jelas
bersifat jangka panjang dan harus dilakukan secara berkesinambungan.
Pertanyaannya kini, apa yang dapat dilakukan dalam waktu jangka pendek,
misalnya dalam satu sampai dua tahun ke depan?.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap awal, sebagai usaha
menuju efektivitas fungsi dan peran pemerintah darah dalam segi kelembagaan
pembangunan daerah tertinggal.
Pertama, pemetaan dan tipologi "daerah masing-masing" berdasar
kriteria yang relevan dengan Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
(KPDT). Pemetaan tipologi ini akan merupakan basis data kerja baik bagi
pemerintah daerah sendiri maupun bagi lembaga-lembaga yang terkait. Hal ini
tidak perlu dimulai dari nihil, namun dapat memanfaatkan data dan informasi
yang telah ada, seperti yang telah dikumpulkan Biro Pusat Statistik dalam
beberapa tahun, tentu setelah dilakukan evaluasi sesuai dengan kondisi terakhir
daerah.
Kedua, perlu dirumuskan konsep (model) umum pengembangan daerah secara bervariasi
sesuai karakteristik geografis, budaya, dan sosial-ekonomi daerah. Konsep itu
pada dasarnya harus merupakan pembangunan lokal (local development) yang amat
menghargai dan memberi tempat bagi inisiatif-inisiatif lokal, dan harus dapat
menjelaskan apa peran dan fungsi pelaku (stakeholders). Pada giliran penerapan,
konsep ini akan mengalami modifikasi lebih spesifik sesuai kondisi
masing-masing daerah. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa cara pembangunan
model proyek pemerintah pusat yang bersifat top-down, seperti dilakukan pada
masa Orde Baru, tidak akan membawa hasil efektif.
Ketiga, mulai segera melakukan koordinasi dan lobi dengan pelaku potensial
percepatan pembangunan daerah tertinggal, termasuk departemen sektoral, dunia
usaha, dan lembaga donor dengan mensosialisasikan konsep (gagasan) pembangunan
daerah, terutama dari segi kelembagaan seperti dijelaskan butir dua.
Forum-forum komunikasi mungkin dapat merupakan cara yang efektif untuk tujuan
ini.
Keempat, mengupayakan program percontohan penerapan konsep (gagasan) yang
dikemukakan pada butir dua terhadap daerah yang dipandang strategis dan tepat
sebagai suatu contoh. Meski hal ini tidak selalu merupakan jaminan suksesnya
suatu replika, kasus yang berhasil (best practice) dapat merupakan contoh untuk
diterapkan dan dipelajari bagi daerah lainnya. Lebih dari itu contoh seperti
ini dapat merupakan wujud "keberhasilan" nyata gagasan (konsep) yang
ditawarkan, dan dapat menumbuhkan "kepercayaan" (trust) bagi pihak
terkait dan berkepentingan (stakeholders) di daerah tertinggal.
BAB 1
PENDAHULUAN
Definisi Daerah Tertinggal
Ketertinggalan (underdevelopment) bukan merupakan sebuah kondisi dimana tidak
terdapat perkembangan (absence of development), karena pada hakikatnya, setiap
manusia atau kelompok manusia akan melakukan sebuah usaha untuk meningkatkan
kualitas hidupnya walaupun itu hanya sedikit. Ketertinggalan merupakan sebuah
kondisi suatu wilayah dengan wilayah lainnya atau apabila kita membandingkan
tingkat perkembangan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kondisi ini muncul
karena perkembangan sosial manusia yang tidak sama dan bila dilihat dari sudut pandang
ekonomi, sekelompok orang telah lebih maju dibandingkan kelompok orang lainnya
(Rodney, 1973).
Selanjutnya tentang ketertinggalan ini adalah biasanya digambarkan dengan
terdapatnya eksploitasi, misalnya eksploitasi suatu negara oleh negara lainnya.
Negara-negara tertinggal (underdeveloped) di dunia biasanya dieksploitasi oleh
Eropa. Dan ketertinggalan di negara-negara tersebut merupakan hasil dari
kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme yang terjadi di masa lalu.
Eksploitasi tersebut menghi]angkan keuntungan sumber daya yang terdapat di
lokasi negara-negara tertinggal, baik itu sumber daya alam, maupun sumber daya
manusia.
Berhubungan dengan pengertian eksploitasi di atas, ketertinggalan biasanya juga
berkaitan dengan ketergantung-an. Ketergantungan terhadap negara atau daerah
lain menyebabkan suatu daerah atau negara tidak dapat disebut mengalami
pembangunan yang balk.
Untuk membandingkan perkembangan suatu negara dengan negara lainnya atau
wilayah dengan wilayah lainnya, dapat digunakan beberapa indikator. Indikator
indikator tersebut antara lain adalah indikator ekonomi, yang ditandai dengan
pendapatan perkapita penduduknya. Indikator selanjutnya adalah jumlah produksi
dan konsumsi barang, jumlah dan kualitas pelayanan sosial yang dapat dilihat pula
dari kondisi sosial penduduk di dalamnya, seperti, jumlah kematian bayi, jumlah
buta huruf, dan sebagainya. Selain indikator-indikator yang sifatnya
kuantitatif seperti di atas, yang perlu diperhatikan juga adalah aspek
kualitatifnya.
Pada umumnya di daerah tertinggal, tidak terdapat sektor ekonomi yang bisa
membawa pertumbuhan secara besar, atau yang memiliki multiplier effect yang
tinggi yang dapat memacu pertumbuhan. Jadi pemerintah tidak cukup hanya dengan
menyediakan barang dan jasa sebanyak-banyaknya saja, tapi juga harus yang dapat
memberikan stimulan untuk meningkatkan perekonomian daerah tersebut.
Menurut R Bandyopahyay dan S. Datta (1989), daerah tertinggal secara umum
memiliki karakteristik sebagai berikut (1) biasanya berada di kawasan perdesaan,
dengan memiliki keterbatasan fungsi dan fasilitas yang dimiliki kawasan
perkotaan, serta produktifitas hasil pertanian yang sangat rendah; (2)
rendahnya sumber daya yang dimiliki (SDM dan sumber daya alam); (3) memiliki
struktur pasar yang kecil dan tidak efektif; (4) rendahnya standar hidup; dan
(5) sangat jauh dari pusat pembangunan wilayah/negara. Dari beberapa hasil
penelitian yang dilakukan di India tentang pembangunan daerah tertinggal,
dikatakan bahwa daerah tertinggal (the backward hill areas) merupakan daerah
yang tidak homogenous dan bervariasi dalam sumber daya, curah hujan, topografi
dan kondisi sumber daya alamnya namun memiliki keterbatasan, sehingga
diperlukan pendekatan yang berbeda dalam pengembangan daerah untuk setiap
daerahnya. Yang dimaksud dengan keterbatasan adalah keterbatasan ekonomi,
infrastruktur dan sumber daya manusianya. Biasanya kondisi keterbatasan
tersebut terlihat dari inaccesbility yang dimiliki oleh daerah tersebut,
seperti terbatasnya fasilitas-fasilitas umum (fasilitas jalan, fasilitas
komunikasi, dan kecilnya keterbatasan tanah yang dimiliki oleh petani). Oleh
karena itu, setiap daerah tersebut dikembangkan atau dibangun dengan
memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki setiap daerah
tersebut.
BAB II
A.
Indikator
Daerah Tertinggal di Indonesia
Penentuan
kriteria daerah tertinggal pada prinsipnya berorientasi pada kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang berada pada daerah tersebut. Hal ini merupakan indikasi
dari outcome dan impact suatu proses pembangunan. Namun demikian, dalam
praktiknya penentuan kriteria daerah tertinggal di Indonesia sangat dibatasi
oleh ketersediaan data sekunder yang ada. Saat ini data yang digunakan adalah
data Potensi Desa (PODES), data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan
data Keuangan Daerah.
Oleh karena itu, dalam menentukan ‘kriteria utama’, digunakan indikator
ketertinggalan masyarakat baik ekonomi maupun sosial. Kriteria ketertinggalan
dalam bidang ekonomi diindikasikan dari persentase penduduk miskin dan kedalaman
kemiskinan pada daerah tersebut. Sedangkan kriteria ketertinggalan dalam bidang
sosial diindikasikan dari kondisi kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.
Gambaran tersebut tentunya belum menunjukkan penyebab ketertinggalan dari suatu
daerah, sehingga diperlukan indikator lain yang menggambarkan kondisi fisik
penyebab ketertinggalan yakni kondisi infrastruktur seperti jalan, penggunaan
listrik, telepon, perbankan, maupun pasar. Kurangnya infrastruktur yang
merupakan faktor input ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap output,
sehingga faktor ini dapat dikatakan sebagai kriteria dasar suatu
ketertinggalan.
Kriteria lain adalah proses pembangunan itu sendiri yang digambarkan dari
jumlah dana yang dapat digunakan untuk pembangunan, efisiensi pengunaannya,
serta faktor-faktor lain yang dapat menghambat proses pembangunan seperti
seringnya terjadi bencana alam atau konflik sosial. indikasi proses pembangunan
ini sangat sulit digambarkan dari data sekunder yang tersedia karena banyak
yang bersifat kualitatif. Namun demikian, indikator yang dapat menggambarkan
proses tersebut tetap diperlukan, dan data yang ada berupa kemampuan keuangan
daerah, aksesibilitas pelayanan pemerintahan serta karakteristik daerah yang
dapat menggambarkan hambatan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, penetapan kriteria daerah tertinggal selanjutnya dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar
dalam Kepmen PDT No 1 tahun 2005, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya
manusia, sarana dan prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah
fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Berdasarkan itu, maka
ditetapkan 190 kabupaten yang dikategorikan sebagai kabupaten tertinggal baik
dengan kategori tertinggal parah, sangat tertinggal, maupun agak tertinggal.
Namun disadari bahwa data BPS yang digunakan belum menggambarkan kondisi
mutakhir kabupaten yang ada, mengingat sepanjang 2002-2004 terdapat banyak
perubahan yang terjadi terutama kegiatan pemekaran daerah. Untuk memastikan
ketertinggal-an ini, maka Kementerian PDT melakukan kegiatan validasi dan
verifikasi selama satu bulan. Kegiatan validasi ini bertujuan untuk memberi
kesempatan kepada kabupaten yang telah ditetapkan, untuk menyatakan kebenaran
ketertinggalan tersebut. Hasil validasi tersebut telah menetapkan sebanyak 199
kabupaten tertinggal yang tersebar pada KTI sebanyak 123 kabupaten atau sekitar
62 persen, Sumatra sebanyak 58 kabupaten atau sekitar 29 persen. Sisanya di
Jawa dan Bali sebanyak 18 kabupaten atau 9 persen.
B. Konsep Daerah Tertinggal di
Indonesia
Menurut
Firman (2004) pengertian daerah tertinggal sebenarnya multi interpretatif dan
amat luas. Meski demikian, ciri umumnya antara lain, tingkat kemiskinan tinggi,
kegiatan ekonomi amat terbatas dan terfokus pada sumber daya alam, minimnya
sarana dan prasarana, dan kualitas SDM rendah. Daerah tertinggal secara fisik
kadang lokasinya amat terisolasi.
Menurut Kepmen PDT nomor 1 tahun 2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan
Daerah Tertinggal, daerah tertinggal didefinisikan sebagai daerah kabupaten
yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan
daerah lain dalam skala nasional. Sesuai dengan pengertian tersebut maka
penetapan daerah tertinggal merupakan hal sangat relatif karena merupakan hasil
perbandingan dengan daerah lainnya. Untuk itu dalam penetapan daerah tertinggal
digunakanlah data agregat pada tingkat kabupaten.
Indikator Daerah Tertinggal di Negara Maju, Negara Berkembang dan Negara Miskin
Indikator daerah tertinggal di negara maju biasanya dapat diturunkan dari
karakteristik suatu daerah tertinggal yang terbagi dalam beberapa aspek daerah
tertinggal. Untuk keperluan ini akan disajikan karakteristik dan aspek daerah
tertinggal yang digunakan di negara-negara di Eropa. Secara umum, karakteristik
daerah tertinggal di negara-negara di benua Eropa dapat dilihat dari berbagai
aspek sebagai berikut:
Ekonomi, pada umumnya daerah tertinggal di Eropa ditandai
dengan tingkat pendapatan perkapita penduduknya yang di bawah rata-rata negara.
Hal ini juga disebabkan oleh kegiatan perekonomian utama di daerah tertinggal
di Eropa yang berupa pertanian terutama kegiatan pertanian yang bersifat
non-komersial sehingga menyebabkan ketertinggalan tersebut.
Sosial Kependudukan, terkait dengan kegiatan perekonomian
penduduknya, salah satu penyebab ketertinggalan daerah di Eropa adalah
karakteristik penduduknya yang enggan untuk berwirausaha (Enterpreneurship).
Kegiatan wirausaha yang diharapkan dapat menjadi roda penggerak perekonomian
sulit ditemukan di daerah tertinggal di Eropa. Di daerah tersebut tidak
ditemukan kegiatan yang dapat menimbulkan multiplier effect bagi kegiatan
lainnya. Tingginya tingkat pengangguran juga merupakan karakteristik daerah
tertinggal di negara Eropa. Infrastruktur, pada umumya infrastruktur di daerah
tertinggal di negara di Eropa juga menunjukkan kondisi yang tertinggal
dibandingkan dengan daerah lainnya. Infrastruktur yang menjadi penghambat utama
adalah pada akses pemasaran hasil produksi daerah tersebut.
Indikator daerah tertinggal di negara berkembang akan diturunkan karakteristik
dan aspek daerah tertinggal yang digunakan di beberapa negara di kawasan Asia
Selatan dan Afrika. Secara umum, karakteristik daerah tertinggal di
negara-negara berkembang seperti di kawasan Asia Selatan dan Afrika dapat
dilihat dalam beberapa aspek sebagai berikut:
Ekonomi, sama halnya dengan karakteristik di Eropa, tingkat
pendapatan perkapita penduduk di daerah tertinggal di negara berkembang
menunjukkan tingkat di bawah rata-rata nasional. Kegiatan utama penduduknya
terutama adalah pertanian dan sebagian besar merupakan pertanian subsisten
sehingga tidak dapat menimbulkan multipler effect di daerah tersebut.
Sosial kependudukan, penduduk di daerah tertinggal di negara
berkembang pada umumnya berada dalam kondisi yang buruk. Tingginya tingkat buta
huruf, kematian bayi dan wabah penyakit merupakan beberapa hal yang masih
ditemukan dan merupakan salah satu kerentanan sosial di daerah tertinggal di
negara berkembang. Pengangguran dan tingginya tingkat ketergantungan di daerah
tertinggal juga merupakan karakteristik sosial kependudukan di daerah
tertinggal. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini terkait dengan besarnya push
factor di daerah tertinggal, sehingga banyak penduduk golongan usia produktif
yang meninggalkan daerahnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dependency
ratio dan sex ratio dapat digunakan sebagai indikator ketertinggalan suatu
daerah.
Infrastruktur, pada umumnya infrastruktur dan pelayanan dasar
pendukung kehidupan manusia masih dalam kondisi buruk dalam segi kualitas dan
kuantitas. Pelayanan seperti sanitasi, air bersih, dan tenaga listrik masih
dalam kondisi yang sangat buruk. Selain itu keadaan fasilitas sosial seperti
pendidikan dan kesehatan baik secara kualitas maupun kuantitas yang masih buruk
merupakan salah satu penyebab ketertinggalan daerah di negara berkembang.
Fisik Iingkungan, pada umumnya daerah tertinggal di negara
berkembang berlokasi di daerah terpencil, daerah perbatasan negara atau di
daerah rawan bencana. Kondisi lahan yang kurang produktif untuk pertanian yang
masih sangat tergantung dengan kondisi alam juga menjadi faktor penyebab
ketertinggalan daerah. Hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa daerah yang
tertinggal tidak selalu tertinggal dalam potensi sumber daya alamnya. Banyak
daerah tertinggal yang kaya akan potensi sumber daya alam akan tetapi menjadi
daerah tertinggal disebabkan karena terjadinya eksploitasi.
Penggunaan pendekatan model alokasi sumberdaya ekonomi (traditionals
resources-allocation models of economy) akan menuntun supaya mempertimbangkan
keuntungan ekonomi yang direfleksikan oleh mekanisme pasar, sedangkan apabila
menggunakan pendekatan yang lebih luas akan membuat kita tidak dapat mengevaluasi
alokasi sumberdaya, baik sumberdaya ekonomi maupun social standpoint. Beberapa
aspek dapat digunakan sebagai batasan dalam pendekatan ini. Seperti social
benefit and cost dengan berbagai alternatif yang dielaborasi ke dalam suatu
framework yang terintegrasi dalam model, dengan meliputi variabel sosial,
kultur, ekonomi dan politik. Solusi yang ada dari model ini seharusnya direspon
kepada spesifik socio-cultural environment daerah tersebut, dan harus
memperhatikan ketersediaan dari raw material dan skill, serta karakteristik
dari daerah tertinggal tersebut. Dengan demikian kondisi ekonomi hasus
memasukan faktor-faktor fisik yang dimiliki seperti sumber daya dan raw
material yang tersedia.
C.
Konsep
Daerah Tertinggal di Negara Sedang Berkembang
Untuk mengetahui pengertian akan ketertinggalan di Indonesia dengan tepat, akan
lebih baik jika kita mengetahui pengertian ketertinggalan di negara-negara
dunia ketiga, yang memiliki kondisi pembangunan yang kurang lebih mirip dengan
kondisi di Indonesia.
Untuk memahami ketertinggalan di negara berkembang, hal utama yang harus
diperhatikan adalah konsep kemiskinan. Dalam studi yang dilakukan di Asia
Selatan (India, Pakistan, dan lain-lain), kemiskinan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kemiskinan yang sementara, dan kemiskinan yang permanen. Daerah
atau wilayah yang lebih tepat didefinisikan memiliki kondisi ketertinggalan
adalah daerah atau wilayah yang memiliki kondisi kemiskinan yang permanen.
Kesalahan dalam mendefinisikan jenis kemiskinan dalam suatu kelompok masyarakat
dapat menimbulkan suatu masalah baru, dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan
untuk mengurangi tingkat kemiskinan akan menjadi tidak tepat.
Kemiskinan di desa-desa (rural) di negara-negara di Asia selatan
dikarakteristikkan oleh aspek-aspek ekonomi, demografi dan sosial, yang
terutama adalah kurangnya lahan produktif atau sulitnya mendapatkan akses
menuju lahan yang produktif. Rumah tangga miskin biasanya memiliki jumlah
anggota keluarga yang besar dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, tingkat
pendidikan yang rendah, dan terhadap fasilitas dasar seperti sanitasi, air
bersih, dan listrik. Karakteristik kemiskinan permanen sendiri biasanya dilihat
pada rendahnya pelayanan infrastruktur, keterbelakangan sosial, kurangnya akses
kepada pendidikan, kecacatan dan faktor usia, wabah penyakit yang berkelanjutan
dan sebagainya (IFAD 2002). Pendekatan yang biasanya dipakai untuk menentukan
kemiskinan permanen ini adalah pendapatan perkapita yang dilihat dari waktu ke
waktu, sehingga dapat diketahui kelompok keluarga yang “selalu miskin”,
“terkadang miskin”, atau “tidak pernah miskin”.
Faktor kedua yang harus diperhatikan dalam melihat ketertinggalan di suatu
daerah di Asia Selatan adalah kerentanan (vulnerability). Kerentanan ini
menjadi penting karena dengan adanya kerentanan berpotensi memunculkan daerah
yang akan menjadi daerah miskin permanen. Kerentanan ini dapat berupa wabah
penyakit yang berkepanjangan, ataupun kerentanan kondisi fisik lingkungannya.
Indentifikasi terhadap kerentanan in menjadi sulit dilakukan karena berbagai
faktor yang menjadi penyebabnya. Akan tetapi penting untuk diperhatikan dalam
menentukan ketertinggalan suatu daerah.
Salah satu wilayah miskin di India adalah distrik Vidharba. Distrik ini
mengalami keterbelakangan karena kurangnya tenaga kerja di luar pertanian,
terutama pertanian yang tergantung dengan pengairan yang alami. Tingkat
ketergantungan yang tinggi (dependency ratio) dan kurangnya lapangan kerja di
luar pertanian juga menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan. Faktor lain
yang menjadi penyebab munculnya kemiskinan juga adalah kurang baiknya kondisi
lahan dan tidak beragamnya jenis pertanian.
Selain itu studi yang dilakukan di India, diketahui bahwa strategi yang
digunakan untuk pembangunan daerah tertinggal seharusnya memperhatikan berbagai
hal sebagai berikut (1) pembangunan harus berbasis sumber daya lokal dan
memaksimalkan penggunaan SDM lokal. (2) melakukan transformasi ekonomi yang
berorientasi pada konsumsi menjadi ekonomi yang berorientasi kepada investasi.
(3) memberikan regulasi tentang perjanjian perdagangan inter-regional, dalam
hal mengurangi eksploitasi sumber daya di daerah tertinggal. (4)
memelihara keseimbangan ekologikal, dan (5) pemerintah pusat mengisi
kesenjangan/gap yang terjadi akibat mekanisme pasar untuk memberikan daya saing
kepada daerah tertinggal.
Secara umum, ketertinggalan di negara berkembang selalu berkaitan dengan daerah
perdesaan dimana sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani
(agricultural), dan tidak memiliki akses untuk lapangan pekerjaan yang lain.
Selain itu kondisi fisik lingkungan yang kurang baik, ketersediaan lahan yang
tidak produktif juga menjadi penyebab kondisi ketertinggalan suatu daerah di
negara berkembang, karena lahan adalah komponen utama pertanian, sehingga
kerentanan kondisi alam dapat menjadi penyebab ketertinggalan dan kemiskinan
satu daerah. Infrastruktur dan pelayanan dasar manusia seperti air bersih,
sanitasi, dan energi listrik juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya
ketertinggalan di negara berkembang. Hal-hal demikian menyebabkan daya dorong
untuk keluar dari desa tertinggal menjadi tinggi sehingga fenomena yang banyak
ditemukan di daerahdaerah tertinggal di negara berkembang adalah fenomena
tingkat ketergantungan yang tinggi (dependency ratio).
Struktur demografi penduduk yang dominan muncul di daerah tertinggal adalah
penduduk dengan usia lanjut. Rendahnya tingkat pendidikan dan kerawanan
terhadap penyakit merupakan faktor kerentanan utama yang dapat menyebabkan
munculnya kemiskinan permanen di desa-desa, di negara berkembang.
Eksploitasi negara-negara di Afrika juga menjadi salah satu dari penyebab
munculnya ketertinggalan pembangunan. Seringkali negara berkembang, kekayaan
sumber daya alam yang tinggi, namun eksploitasi oleh negara maju menyebabkan
kekayaan daerah tersebut tidak menjadi pemasukan bagi daerahnya yang dapat
mengembangkan daerah tersebut.Di negara-negara Afrika juga menunjukkan
peningkatan wilayah perdesaan dan disparitas. Di Nigeria peningkatan disparitas
sangat cepat dibandingkan dengan negara Tanszania. Namun pertumbuhan di negara
Tanzania lebih kecil apabila dibandingkan dengan negara Nigeria.
Strategi yang biasa digunakan di berbagai negara berkembang untuk pembangunan
daerah tertinggal secara makro biasanya menggunakan pendekatanpendekatan teori
sebagai berikut teori balanced growth, teori growth pole/growth centre, import
subtitutions industrialization, exported growth dan nucleus industries. Inti
dari hipotesis pendekatan strategi ini adalah pembangunan yang memiliki
“trickled down” kepada level paling bawah dengan memberikan stimulan terhadap
faktor pengungkit tertinggi dalam pembangunan.
Di negara Amerika Latin, ketertinggalan ditunjukkan dengan adanya disparitas
wilayah dan interpersonal yang sangat besar antara daerah tertinggal dan tidak
tertinggal, terutama di daerah tertinggal di timur laut negara Brazil. Walaupun
demikian, negara-negara Amerika Latin memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi
dalam beberapa tahun.
Untuk di negara-negara Asia memperlihatkan adanya peningkatan disparitas dan
terjadinya peningkatan kemiskinan dari tahun ke tahun, terutama penduduk
diperdesaan (kemiskinan relatif maupun absolut). Di beberapa negara Asia,
walaupun memiliki pertumbuhan yang tinggi, namun peningkatan dalam
industrialisasi tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup dalam penyerapan
tenaga kerja. Hanya China yang dalam program pembangunan industrialisasi
perdesaan yang sukses dalam membuat lapangan pekerjaan dalam jumlah besar pada
populasi penduduk perdesaan di daerah tertinggal.